Sabtu, 27 November 2010

STRATIFIKASI SOSIAL


PENDAHULUAN STRATIFIKASI SOSIAL


Masyarakat manusia terdiri dari beragam kelompok-kelompok orang yang ciri-ciri pembedanya bisa berupa warna kulit, tinggi badan, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, kepercayaan agama atau politik, pendapatan atau pendidikan. Pembedaan ini sering kali dilakukan bahkan mungkin diperlukan.
Semua manusia dilahirkan sama seperti yang selama ini kita tahu, melalui pendapat para orang-orang bijak dan orang tua kita atau bahkan orang terdekat kita. Pendapat demikian ternyata tidak lebih dari omong kosong belaka yang selalu ditanamkan kepada setiap orang entah untuk apa mereka selalu menanamkan hal ini kepada kita.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, kenyataan itu adalah ketidaksamaan. Beberapa pendapat sosiologis  mengatakan dalam semua masyarakat dijumpai ketidaksamaan di berbagai bidang misalnya saja dalam dimensi ekonomi: sebagian anggota masyarakat mempunyai kekayaan yang berlimpah dan kesejahteraan hidupnya terjamin, sedangkan sisanya miskin dan hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera. Dalam dimensi yang lain misalnya kekuasaan: sebagian orang mempunyai kekuasaan, sedangkan yang lain dikuasai. Suka atau tidak suka inilah realitas masyarakat, setidaknya realitas yang hanya bisa ditangkap oleh panca indera dan kemampuan berpikir manusia. Pembedaan anggota masyarakat ini dalam sosiologi dinamakan startifikasi sosial.
Seringkali dalam pengalaman sehari-hari kita melihat fenomena sosial seperti seseorang yang tadinya mempunyai status tertentu di kemudian hari memperoleh status yang lebih tinggi dari pada status sebelumnya. Hal demikian disebut mobilitas sosial. Sistem Stratifikasi menuruf sifatnya dapat digolongkan menjadi straifikasi terbuka dan stratifikasi tertutup, contoh yang disebutkan diatas tadi merupakan contoh dari stratifikasi terbuka dimana mobilitas sosial dimungkinkan.
Suatu sistem stratifikasi dinamakan tertutup manakala setiap anggota masyarakat tetap pada status yang sama dengan orang tuanya, sedangkan dinamakan terbuka karena setiap anggota masyarakat menduduki status berbeda dengan orang tuanya, bisa lebih tinggi atau lebih rendah.
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).

Pengertian
Definisi sistematik antara lain dikemukakan oleh Pitirim A. Sorokin bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya. Setiap lapisan tersebut disebut strata sosial. P.J. Bouman menggunakan istilah tingkatan atau dalam bahasa belanda disebut stand, yaitu golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu dan menurut gengsi kemasyarakatan. Istilah stand juga dipakai oleh Max Weber.

Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.

Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.

Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.

Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.

Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Tiga Sifat Stratifikasi Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, dilihat dari sifatnya pelapisan sosial dibedakan menjadi sistem pelapisan sosial tertutup, sistem pelapisan sosial terbuka, dan sistem pelapisan sosial campuran.
Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Social Stratification)
Stratifikasi ini adalah stratifikasi dimana anggota dari setiap strata sulit mengadakan mobilitas vertikal. Walaupun ada mobilitas tetapi sangat terbatas pada mobilitas horisontal saja. Contoh:
- Sistem kasta.
Kaum Sudra tidak bisa pindah posisi naik di lapisan Brahmana.
- Rasialis.
Kulit hitam (negro) yang dianggap di posisi rendah tidak bisa pindah kedudukan di posisi kulit putih.
- Feodal.
Kaum buruh tidak bisa pindah ke posisi juragan/majikan.

b. Stratifikasi Sosial Terbuka (Opened Social Stratification)
Stratifikasi ini bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal. Contoh:
- Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya.
- Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha.
c.Stratifikasi Sosial Campuran
Stratifikasi sosial c a m p u r a n m e r u p a k a n kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang Bali b e r k a s t a Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.
1. Pengaruh Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial dalam Masyarakat
A. Pengaruh Diferensiasi Sosial
Pada Modul terdahulu Anda telah mempelajari Diferensiasi Sosial. Masih ingatkah Anda perbedaaan antara Kemajemukan Sosial dengan Heterogenitas Sosial? Ada dua hal dalam Diferensiasi Sosial yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat di Indonesia. Mari kita bahas:
* Kemajemukan Sosial :
Pengelompokkan masyarakat secara horisontal yang didasarkan pada adanya perbedaan Ras, Etnis (suku bangsa), klen, agama dsbnya.
Kemajemukan masyarakat Indonesia terbentuk karena beberapa hal seperti:
- Keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari beberapa ribu pulau besar kecil dari barat sampai ke timur yang kemudian tumbuh menjadi satu kesatuan sukubangsa yang melahirkan berbagai ragam budaya.
- Indonesia terletak antara dua titik silang samudra yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Letak strategis ini merupakan daya tarik bagi bangsa-bangsa asing datang dan singgah di wilayah ini sehingga Amalgamasi (perkawinan campur) dan Asimilasi (perbauran budaya) diantara kaum pendatang dan penduduk asli maupun antara kaum pendatang sendiri terjadi. Hal demikian membuat masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai ras, etnis dan sebagainya.

Iklim yang berbeda antara daerah satu dengan daerah lain menimbulkan perbedaan mata pencaharian penduduknya. Contoh: orang yang tinggal di wilayah pedalaman cenderung bermata pencaharian sebagai petani, sedangkan yang tinggal di wilayah pantai sebagai nelayan/pelaut.
Dapat ditarik kesimpulan dengan adanya Diferensiasi Sosial mempengaruhi terbentuknya anekaragam budaya, misalnya : bahasa, dialek, kesenian, arsitektur, alat-alat budaya, dsbnya.
b. H e t e r o g e n i t a s
Ada dua macam Heterogenitas, yakni:
1) Heterogenitas masyarakat berdasarkan profesi/pekerjaan.
Masyarakat Indonesia yang besar ini penduduknya terdiri dari berbagai profesi seperti pegawai negeri, tentara, pedagang, pegawai swasta, dsbnya. Setiap pekerjaan memerlukan tuntutan profesionalisme agar dpat dikatakan berhasil. Untuk itu diperlukan penguasaan ilmu dan melatih ketrampilan yang berkaitan dengan setiap pekerjaan. Setiap pekerjaan juga memiliki fungsi di masyarakat karena merupakan bagian dari struktur masyarakat itu sendiri. Hubungan antar profesi atau orang yang memiliki profesi yang berbeda hendaknya merupakan hubungan horisontal dan hubungan saling menghargai biarpun berbeda fungsi, tugas, bahkan berbeda penghasilan.
2) Heterogenitas atas dasar jenis kelamin.
Di Indonesia biarpun secara konstitusional tidak terdapat diskriminasi sosial atas dasar jenis kelamin, namun pandangan “gender” masih dianut sebagaian besar masyarakat Indonesia.
Pandangan gender ini dikarenakan faktor kebudayaan dan agama. Apabila kita melihat kemajuan Indoensia sekarang ini, banyak perempuan yang berhasil mengusai Iptek dan memiliki posisi yang strategis dalam masyarakat. Maka sudah selayaknya perbedaan jenis kelamin dikatagorikan secara horisontal, yaitu hubungan kesejajaran yang saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Dari kedua macam Heterogenitas tersebut dapat ditarik kesimpulan : melalui Hetrogenitas memunculkan adanya profesionalismeprofesionalisme dalam pekerjaan, keterampilan-keterampilan khusus (skill), spesialisasi-spesialisasi pekerjaan, penyadaran HAM, dsbnya.

B. Pengaruh Stratifikasi Sosial
Selain menimbulkan tumbuhnya pelapisan dalam masyarakat, juga munculnya kelas-kelas sosial atau golongan sosial yang telah kita pelajari pada Modul terdahulu.
Adanya pelapisan sosial dapat pula mengakibatkan atau mempengaruhi tindakan-tindakan warga masyarakat dalam interaksi sosialnya. Pola tindakan individu-individu masyarakat sebagai konsekwensi dari adanya perbedaan status dan peran sosial akan muncul dengan sendirinya.

Pelapisan masyarakat mempengaruhi munculnya life chesser & life stile tertentu dalam masyarakat, yaitu kemudahan hidup dan gaya hidup tersendiri. Misalnya, orang kaya (lapisan atas) akan mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hidupnya, jika dibandingkan orang miskin (lapisan bawah); dan orang kaya akan punya gaya hidup tertentu yang berbeda dengan orang miskin.

Contoh pelapisan sosial yang terjadi dalam masyarakat
Gaya hidup masing-masing orang berbeda-beda. Ada orang yang hidup dengan gaya mewah, adapula yang hidup secara sederhana.Pola hidup masyakat tentunya dilatarbelakangi oleh statusnya dalam masyarakat.
Diferensiasi social
 merupakan perbedaan seseorang dilihat dari suku bangsa, ras, agama, klan, dsb.
Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam diferensiasi itu tidak terdapat tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak lahir. contohnya saja, suku sunda dan suku batak memiliki kelebihan masing-masing. jadi seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan menimbulkan etnosentrisme dalam masyarakat. diferensiasi merupakan perbedaan yang dapat kita lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk menjadikan kita berbeda tingkat sosialnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan.

 “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles".

Mobilitas Sosial yang disebut tadi berarti perpindahan status dalam stratifikasi sosial. Banyak sebab yang dapat memungkinkan individu atau kelompok berpindah status, pendidikan dan pekerjaan misalnya adalah salah satu faktor yang mungkin dapat meyebabkan perpindahan status ini. Masih banyak sebab-sebab lain dalam mobilitas sosial ini, namun yang menjadi pertanyaan saya adalah kondisi dan atas dasar apa individu maupun kelompok melakukan perpindahan status ini? Tetapi biarlah pertanyaan ini tetap menjadi pertanyaan.

“ Historically four basic systems of stratification have existed in human societies: slavery, caste, estates and class ” [2]

Stratifikasi sosial digunakan untuk menunjukan ketidaksamaan dalam masyarakat manusia. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa banyak dimensi dalam stratifikasi sosial akan tetapi tidak semua dimensi akan ditulis dalam makalah ini mengingat keterbatasan pengetahuan saya soal hal ini. Namun beberapa stratifikasi yang menurut saya penting akan saya tuliskan. Pertama, perbudakan seperti yang kita tahu pada sistem seperti ini masyarakat di bagi menjadi dua pemilik budak dan budak. Dimana seseorang atau kelompok orang dimiliki sebagai hak milik seseorang. Namun hal ini sudah lama tidak berlaku lagi saat ini. Salah satu penyebab adanyanya budak adalah perang. Dimana pihak yang kalah kemudian dijadikan tawanan kerja paksa.. Kedua, kasta hal ini berhubungan dengan kepercayaan bansa India dimana mereka percaya terhadap reinkarnasi bahwa manusia akan dilahirkan kembali, dan setiap orang wajib menjalani hidupnya sesuai dengan kastanya, dan bagi mereka yang tidak menjalankan kewajiban sesuai kastanya maka dalam kehidupan mendatang akan dilahirkan kembali didalam kasta yang lebih rendah. Setiap orang dalam sistem kasta ini mendapatkan tingkatan kastanya berdasarkan kasta keluarga mereka. Namun yang masih belum jelas disini adalah atas dasar apa dan darimana keluarga mereka mendapatkan kedudukan dalam kasta tersebut? Ketiga, Estates hal ini erat hubungannya dengan sistem Feodal dimana kedudukan seseorang dinilai dari seberapa banyak dia memiliki tanah. Tanah ini merupakan hadiah atau penghargaan untuk para raja-raja bangsawaan atas dukungannya terhadap raja. Keempat, kelas ialah pembagian masyarakat atas dasar kemampuan ekonomi yang tercermin dalam gaya hidupnya.
Perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat sejak jaman perbudakan sampai revolusi industri hingga sekarang secara mendasar dan menyeluruh telah memperlihatakan pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka diferensiasi sosial yang tidak hanya berarti peningkatan perbedaan status secara horizontal maupun vertical. Hal ini telah menarik para perintis sosiologi awal untuk memperhatikan diferensiasi sosial, yang termasuk juga stratifikasi sosial. Perbedaan yang terlihat di dalam masyarakat ternyata juga memiliki berbagai macam implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Status yang diperoleh kemudian menjadi kunci akses kesegala macam hak-hak istimewa dalam masyarakat yang pada dasarnya hak istimewa tersebut merupakan hasil dari rampasan dan penguasaan secara paksa oleh yang satu terhadap yang lainya, mendominasi dan didominasi, yang pada akhirnya merupakan sumber dari ketidaksamaan di dalam masyarakat. Berbagai macam argumentasi pun diajukan guna menjelaskan ketidaksamaan ini yang kemudian berubah menjadi ketidakadilan.







Kelas dan Stratifikasi

Karl Marx

Seseorang  yang mengguncangkan dunia dengan analisisnya yang tajam dan akurat tentang keadaan manusia di era kapitalisme. Pembedahan atas situasi ekonomi dan politik yang dilakukannya dalam kondisi pelarian politik dan kematian tragis anak-anaknya. Tak ada ungkapan yang tepat selain revolusioner baginya.  Lahir di Jerman pada tanggal 5 mei 1818. Semuanya berawal ketika ia kuliah di di Berlin, dari sini lah seorang pelarian politik di kemudian hari ini memberi inspirasi kepada jutaan umat manusia untuk mengemansipasi dirinya lewat perjuangan kelas akibat ketertindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh para kapitalis.
Seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan bahwa pelaku-pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Salah satu kesulitan dalam teori kelasnya Marx adalah meskipun Marx sering berbicara tentang kelas-kelas sosial, namun ia tidak pernah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan istilah “kelas”. Ada baiknya kita ambil saja salah satu definisi tentang kelas dari seorang marxis sekaligus  pemimpin revolusi Bolshevik 1917 yang termahsyur, Lenin mendefinisikan kelas sebagai berikut:

“Classes are large groups of people differing from each other by the place they occupy in a historically determined system of social production, by their relation (in most cases fixed and formulated in law) to the means of production, by their role in the social organisation of labour, and, consequently, by the dimensions and mode of acquiring the share of social wealth of which they dispose. Classes are groups of people one of which can appropriate the labour of another owing to the different places they occupy in a definite system of social economy“.

Inilah definisi kelas khas kaum marxis. Kelas-kelas sosial pun dibedakan menjadi berdasarkan posisinya dalam produksi,  menurut mereka:

“kriteria fundamental yang membedakan kelas-kelas adalah posisi yang mereka duduki dalam produksi sosial, dan kosekuensinya menentukan relasi mereka terhadap alat-alat produksi”.

Relasi dimana kelas-kelas menempati posisi atas alat produksi menentukan peran mereka dalam organisasi sosial kerja, sebab kelas-kelas memiliki fungsi-fungsi yang berbeda dalam produksi sosial. Dalam masyarakat antagonis beberapa kelas mengatur produksi, mengatur perekonomian dan mengatur seluruh urusan-urusan sosial, misalnya mereka yang memiliki keunggulan dalam kerja mental. Sementara kelas-kelas lainnya menderita di bawah beban kewajiban kerja fisik yang berat. Biasanya, dalam masyarakat yang tebagi atas kelas-kelas, manajemen produksi dijalankan oleh kelas yang memiliki alat produksi. Namun segera setelah beberapa relasi produksi menjadi sebuah halangan bagi perkembangan tenaga-tenaga produktif, kelas-kelas penguasa pun harus mulai memainkan peran yang berbeda dalam organisasi sosial kerja. Ia berangsur-angsur kehilangan signifikansinya sebagai organisator produksi, dan merosot posisisnya menjadi sebuah sampah parasitis dalam tubuh masyarakat dan hidup atas kerja keras orang lain. Seperti pada nasib tuan tanah feodal dulu, hal inilah yang dialami oleh para borjuasi atau kapitalis kini. Menurut Marx kehancuran feodalisme dan lahirnya kapitalisme telah membuat terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang sifatnya antagonistis, yaitu kelas borjuis yang memiliki alat produksi dan kelas proletar yang tidak mempunyai alat produksi. Dua kelas inilah yang dalam terminologi marxis disebut kelas fundamental karena sifatnya yang tak terdamaikan atau antagonis. Penghancuran atas salah satunya merupakan gerak sejarah yang di manifestasikan lewat perjuangan kelas.
 Marx membuktikan bahwa masyarakat kapitalis adalah masyarakat terakhir dalam sejarah manusia dengan kelas-kelas antagonistisnya. Jalan yang mengarahkan kepada masyarakat tanpa kelas terletak pada perjuangan kelas proletariat melawan segala bentuk penindasan, demi membangun kekuatannya dalam masyarakat yang diciptakan untuk melindungi kepentingan rakyat pekerja.
Marx memandang kelas pekerja sebagai kekuatan sosial utama di jaman kapitalisme yang memiliki kemampuan untuk mengeleminasi sistem kapitalis dan menciptakan sebuah masyarakat baru tanpa kelas yang terbebas dari eksploitasi.

Asal Mula Kelas.

Dalam hukum perkembangan masyarakat Marx berdasarkan salah satu jarannya tentang materialisme histories, Pada awalnya tidak ada kelas dalam masyarakat yaitu pada jaman komunal primitif. Pada jaman ini, orang harus saling toltong menolong dalam rangka terus bertahan hidup dan melindungi diri berbagai macam binatang pemangsa. Hal ini memaksa orang harus tinggal menetap, untuk bertahan hidup manusia saat itu berburu hewan, mengumpulkan makanan (tanaman dan buah-buahan) yang dapat dimakan bersama. Tempat tinggal mereka pun dibedakan, dan menjadi pembeda antara   kelompok manusia yang satu atas yang lainnya. Berbagai macam keterampilan, bahasa muncul. Semua hal ini diidetifikasikan sebagai suku atau klan.
Pada saaat ini kerja awalnya dibedakan anatara laki-laki dan perempuan, lalu dibedakan atas dasar kelompok-kelompok usia yang berbeda. Lalu berkembang pada kakhasan pekerjaan rutin yang dilakukan oleh komunitas penanam, peternak dan pemburu. Pembagian kerja merupakan hak prerogatif dari anggota komunitas yang tertua dan paling berpengalaman. Namun demikian, mereka tidaklah dianggap sebagai kelas yang memiliki privilese istimewa karena jumlah mereka yang sedikit jika dibandingkan dengan mayoritas dewasa  dikomunitas disamping hak mereka didapat melalui persetujuan dari mayoritas dewasa. Posisi khusus mereka terletak pada otoritasnya, nukan pada kepemilikan properti atau kekuatan mereka. Pada jaman ini produksi yang dihasilkan orang dibuat hanya untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan langsung, jadi tidak terdapat lahan untuk mengakarnya ketidakadilan sosial.
Setelah jaman komunal primitif berangsur-angsur pudar, banyak hal yang menjadi penyebab hal ini terjadi, selain keharusan sejarah. Berakhirnya jaman ini tidak terjadi secara berbarengan berbagai daerah didunia ini sebgai contoh negara-negara Afrika, formasi kelas-kelas baru mulai terbentuk setelah rejim-rejim kolonial tresingkirkan, yaitu sejak tahun 1950-an sedangkan kelas di Mesir Kuno pada akhir milenium ke-4 dan di awal milenium ke-3 sebelum masehi.
Kemunculan kelas-kelas sosial ini terjadi akibat dari pembagian kerja secara sosial, disaat kepemilikan pribadi atas alat produksi menjadi sebuah kenyataan. Marx melakukan stratifikasi terhadap masyarakat berdasarkan dimensi ekonomi, dimana hal yang paling pokok menurut ia adalah kepemilikan atas alat produksi. Seperti yang selalu dia  katakan dalam berbagai tulisannya, pembagian kerja yang merupakan sumber ketidakadilan sosial timbul saat memudarnya masyarakat komunal primitif.

“Salah satu dari pra kondisi yang paling general dari kehadiran masyarakat yang terbagi atas kelas adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif. Dalam perjalanan panjangnya, proses ini menimbulkan tingkat produksi yang bergerak jauh lebih tinggi dari yang dibutuhkan orang untuk melanjutkan hidupnya. Jadi surplus produk memberikan kepada umat manusia lebih dari yang dibutuhkannya, dan sebagai konsekuensinya, ketidakadilan sosial secara bertahap tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat”[5]


Bersamaan dengan kepemilikan pribadi atas alat produksi yang menguasai perkembangan tenaga-tenaga produktif, dan produksi individu atau keluarga telah menghapuska produksi komunal sebelumnya, ketidak adilan ekonomi menjadi tidak terhindarkan lagi dan hal ini mengkondisikan masyarakat ke dalam kelas-kelas.
Para pemimpin dan tetua komunitas yang mempunyai otoritas dalam komuntas untuk melindungi kepentingan bersama ini. Temasuk dalam hal pengawasan dan pengambilan putusan yang dianggal adil oleh komunitas. Hal demikian juga dapat kita sebut sebagai kekuasaan negara elementer, namun pada dasarnya mereka tidak pernah berhenti mengabdi pada komunitas.
Perkembangan tenaga-tenaga produktif dan penggabungan komunitas-komunitas tersebut kedalam entitas yang lebih besar mengarah pada pembagian kerja lebih lanjut. Dalam perkembangnya terbentuklah badan-badan khusus yang berfungsi untuk melindungi kepentingan bersama serta juri dalam perselisihan antar komunitas. Secara bertahap badan-badan ini mendapat otonomi yang semakin besar dan memisahkan dirinya dari masyarakat sekaligus merepresentasikan kepentingan kelompok sosial utama. Otonomi ini dari pejabat urusan publik berubah menjadi bentuk dominasi terhadap masyarakat yang membentuknya, dulunya abdi publik sekarang para pejabat itu berubah menjadi tuan-tuan (lords).

“Pada umumnya, perkembangan produksi sosial menuntut adanya tenaga kerja manusia yang lebih banyak guna terlibat dalam produksi material. Tidak ada komunitas yang sanggup mnyediakan hal itu sendiri, dan tenaga kerja manusia tambahan disediakan oleh peperangan”

Cara lain pembentukan kelas adalah melalui pembudakan terhadap bala tentara musuh yang tertangkap saat perang. Para peserta perang mulai menyadari bahwa lebih bermanfaaat untuk membiarkan para tawanan mereka terus hidup dan memaksa mereka unutuk bekerja. Jadi hak-hak mereka sebagai manusia dicabut dan  diperlakukan tak ubahnya seperti binatang pekerja.

Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, kita akan mengenal kelas-kelas yang salingbbertentangan. Hal ini disebabkan karena kepentingan mereka selalu tidak dapat diketemukan. Dalam terminologi marxis kita akan mengenal bahwa kelas di bedakan menjadi dua macam bentuk dan sifatnya yaitu kelas-kelas fundamental dan kelas-kelas non fundamental.
Kelas-kelas fundamental adalah kelas-kelas yang keberadaannya ditentukan oleh corak produksi yang mendominasi dalam formasi sosial ekonomi tertentu. Setiap formasi sosial ekonomi yang antagonistis memilki dua kelas fundamental. Kelas-kelas ini bisa berupa pemilik budak dan budak, tuan feudal dan hambanya, ataupaun borjuasi dan proletar. Kontradiksi-kontradiksi antagonistis diantara kelas-kelas tersebut berubah oleh penggantian sistem yang berlaku dengan sebuah sistem baru yang progresif.
Kelas-kelas non fundamental adalah bekas-bekas atau sisa-sisa dari kelas dalam sistem yang lama dan masih bisa dilihat dalam sistem yang baru, biasanya kelas ini menumbuhkan corak produksi yang baru dalam bentuk struktur ekonomi yang spesifik. Sebagai contoh para pedagang, lintah darat, petani-petani kecil yang terdapat dalam masyarakat kepemilikan budak dengan kelas yang fundamental pemilik budak dan budak.
Kelas-kelas fundamental dan non fundamental saling bergantung secara erat, karena dalam perkembangan sejarahnya, kelas fundamental bisa menjadi non fundamental, dan demikian pula sebaliknya. Sebuah kels fundamental merosot menjadi sebuah kelas non fundamental saaat corak produksi yang dominan yang mendasarinya secara bertahap berubah menjadi sebuah struktur sosial ekonomi yang sekunder. Sebuah kelas non fundamental menjadi fundamental saat sebuah struktur sosial ekonomi baru yang terdapat di dalam sebuah formasi sosial ekonomi berubah menjadi corak produksi yang dominan.
Masyarakat juga bisa memiliki lapisan orang-orang yang tidak termasuk ke dalam kelas-kelas tertentu, yaitu elemen-elemen tak berkelas  yang telah kehilangan ikatan-ikatan dengan kelas asalnya. Hal ini berlaku bagi lumpen-lumpen kapitalisme yang terdiri atas orang-orang tanpa pekerjaan tertentu atau yang biasa disebut sebagai sampah-sampah masyarakat, seperti pengemis, pelacur, pencuri dan sejenisnya.
Selain kelas, terdapat kelompok sosial besar lain yang garis pembatasnya terletak pada latar yang berbeda dengan latar-latar pembagian kelas, ia munkin saja didasrkan pada usia, jenis kelamin, ras, profesi, kebangsaaan, dan pembeda lainnya.

Max Weber

Lahir di Jerman pada tahun 1864. Belajar ilmu hukum di Universitas Berlin dan Universitas Heidelberg, selepas studinya ia bekerja sebagai dosen ilmu hokum di Univesitas tempat ia belajar dulu. Selain mengajar ia pun berperan sebagai konsulatan dan peneliti, dan semasa Perang Dunia I ia mengabdi di angkatan bersenjata Jerman. Pada tahun 1889 ia menulis sebuah disertasi yang berjudul A Contribution to the History of Medieval Buisness Organization. Salah satu bukunya yang terkenal adalah The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam bukunya ini Weber menggambarkan hubungan antara Etika Protestant dan Kapitalisme di Eropa Barat.
Max Weber termasuk diantara salah satu sosiolog yang tidak sepakat dengan penggunaan dimensi ekonomi semata-mata untuk menentukan stratifikasi sosial. Giddens dalam bukunya sociology menunjukan persamaan antara Marx dan Weber:
“Like Marx, weber regarded society as characterized by conflict over power and resources”

 Sekaligus pebedaannya,
 “Although Weber accepted Marx’s view that class is founded on objectively given economic factors as important in class formation than were recognized by Marx”

baik Marx maupun Weber keduanya melihat bahwasahnya kelas adalah stratifikasi atas masyarakat berdasarkan dimensi ekonomi. Namun seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Weber termasuk ilmuwan sosial yang menolak penggunaan dimensi stratifikasi ekonomi semata-mata dalam menntukan stratifikasi sosial masyarakat.
Menurut Weber , stratifikasi sosial tidak sesederhana demikian hingga dapat dijelaskan lewat kelas, ia menambahkan dalam uraiannya tentang kekuasaan dalam masyarakat bahwa pembedaan masyarakat dapat dilihat melalui kelompok status, partai dan kelas.
Kelas menurut Weber adalah sejumlah orang yang mempunyai persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib (life chances). Peluang untuk hidup orang tersebut ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan untuk memperoleh penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai akibat dari dipunyainya persamaan untuk menguasai barang dan jasa sehingga diperoleh penghasilan tertentu, mka orang yang berada di kelas yang sama mempunyai persamaan yang dinamakan situasi kelas.
Situasi kelas adalah persamaan dalam hal peluang untuk menguasai persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara hidup. Kategori dasar untuk membedakan kelas ialah kekayaan yang dimilikinya, dan faktor yang menciptakan kelas ialah kepentingan ekonomi, pada titik ini konsep kelas Marx dan Weber adalah sama, yaitu pembedaan kelas dan faktor yang mendorong terciptanya kelas.
Dimensi lain yang digunakan weber adalah ialah dimensi kehormatan. Manusia dikelompokan dalam kelompok status. Kelompok status merupakan orang yang berada dalam situasi status yang sama,  dimana orang yang peluang hidupnya ditentukan oleh ukuran kehormatan, coba lihat pembedaan sultan dan abdi dalem yang ada di Yogyakarta. Persamaan kehormatan status dinyatakan dalm persamaan gaya hidup. Dalam bidang pergaulan hal ini dapat berupa pembatasan dalam pergaulan dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain danya pembatasan dalam pergaulan, menurut Weber kelompok status ditandai oleh adanya hak istimewa dan monopoli atas barang dan kesempatan ideal maupun material. Dalam hal gaya hidup, hal ini bisa kita lihat dari gaya konsumsi.
Disamping pembedaan lewat dimensi ekonomi dan kehormatan Weber menambakan bahwa masyarakat juga dibeda-bedakan berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan menurut Weber adalah peluang bagi seseorang atau sejumlah orang untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal meskipun mengalami tentangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal itu. Bentuk dari tindakan komunal ini adalah partai yang diorientasikan pada diperolehnya kekuasaan.

Erik Olin Wright


Sosiolog dari Amerika ini telah membangun teori kelas kombinasi dari pendekatan Marx dan Weber. Sulit rasanya untuk menulis tentang ilmuan sosial yang satu ini, hal ini di sebabkan Wright sendiri tidak pernah mendefinisikan kelas menurut dia sendiri, disamping buat saya adalah referensi tentang pikirannya dalam bentuk buku masih jarang ditemui, beberapa bahan dapat saya temukan lewat internet namun hal ini juga ternyata tidak cukup memuaskan. Dari berbagai tulisannnya tentang sosiologi Erik Olin Wright dapat digolongkan ke kelompok Neo Marxis. Tulisannya tentang kelas dapat banyak ditemukan di Internet. Menurut Wright:

“According to Wright, there are three dimensions of control economic recources in modern capitalist production, and these allow us to identify the major classes which exist”.
  1. Control over investments or money capital.
  2. Control over the physically means of production (land or Factories and offices).
  3. Control over labour power.

Ketiga point diatas seluruhnya dikuasi oleh kelas kapitalis, sedangkan kelas pekerjanya sendiri tidak menguasai satu pun dari tiga hal diatas. Padahal menurut Marx bahwa point pertama dan kedua diatas dihasilkan dari point ketiga. Ironis memang jika melihat hal demikian, bayangkan ada sekelompok orang yang telah seharian bekerja keras namun hasil kerja tidak dapat ia nikmati sendiri.
 Diantara dua kelas utama ini ada kelompok yang posisinya ambigu menurut dia, sebut saja seprti yang dia contohkan yaitu para manajer dan pekerja kerah putih atau para professional. Letak ambiguitas orang-orang ini dalam sistem produksi adalah mereka mampu mempengaruhi beberapa aspek dari produksi namun meraka tidak mampu menguasinya. Sama seperti para pekerja manual mereka menjual tenaga mereka kepada kaum kapitalis lewat kontrak kerja namun disatu sisi mereka mempunyai wewenang dalam perencanaan kerja atau kerja mental.
Kita tentu masih ingat apa yang dikatakan Marx, bahwa diantara kelas borjuis dan kelas proletar ada kelas yang dinamakan kelas borjuis kecil, yang dalam perkembangannya akan jatuh kedalam barisan kaum proletariat disebabkan karena mereka tidak mempunyai modal yang cukup besar dalam usahanya. Dalam perjalanan kapitalisme besar tidaknya modal menentukan dalam usaha mempertahankan produksi dan mendapatkan surplus guna memperbesar modal produksi. Sistem monopoli dan persaingan bebas yang berlaku didalam kapitalisme telah memaksa orang-orang yang seperti disebut oleh wright “contradictory class locations” akhirnya habis dimakan oleh kapitalis-kapitalis besar.
Tentu ada sebab-sebab yang menjadikannya kelompok ini muncul, yaitu keahlian dan kemampuan. Dalam konsep mobilitas sosial factor pendidikan mainkan peranan yang cukup penting disini lewat pendidikan individu yang berasal dari status rendah namun berpendidikan tinggi, dalam masyarakat kapitalis yang membutuhkan para pekerja ahli misalnya manajer guna mengawasi berjalannya sistem produksi. Kelas pekerja tidak mempunyai keahlian yang cukup dalam hal manajemen ini karena cuma tenaga yang mereka punya. Itupun akan digantikan oleh mesin-mesin sering dengan kemajuan teknologi. Tentu ada aspek-aspek lain dari hal ini. Biasanya pekerja yang mempunyai keahlian dan berpengalaman dalam bidang dapat memperoleh upah kerja diatas-rata yang diterima oleh pekerja biasa. Kesempatan kerja pun terbuka lebih jauh dan lebar dari kelompok ini akibat dari keahlian yang dimilikinya. Menurut Wright:

“ employees with knowledge and skills are more difficult to monitor and control, employers are obliged to secure their loyalty and cooperation by rewarding them accordingly”

Dimensi kekuasaan dalam sistem produksi dari kelompok ini juga ikut memasukan konsepnya Weber dalam stratifikasi sosialnya Erik Olin Wright. Pada hakekatnya sifat dari kelompok ini adalah oportunis dan pragmatis.

Berdasarkan pengalaman sehari-hari, menurut saya pendekatan Marx dalam melakukan stratifikasi terhadap masyarakat dimana saya hidup cukup relevan. Masyarakat di dalam negara dunia ketiga seperti Indonesia dimana kesenjangan antara yang kaya dan yang dimiskinkan demikian lebarnya, pendekatan Marx bisa menjelaskan apa yang saya alami sehari-hari.
Jaman yang sedang berlangsung ini adalah jaman kapitalisme yang telah mencapai tahapnya yang tertinggi yaitu Imperialisme, dan sedang berjalan menuju kehancurannya, seperti yang diyakini Marx dan para Marxis. Dua kelas utama dalam masyarakat ini adalah borjuis dan proletar. Borjuasi terdiri dari para pemilik properti pertanian dan industri besar yang hanya kerja di perusahaanya, dan menikmati surplus dalam bentuk keuntungan yang didapatnya dari hasil kerja para buruh upahan yang tetap tidak terbayar sesuai dengan kebutuhannya di dalam jaman kapitalisme. Kelas yang berseberangan dengan borjuis, yang di satu sisi merupakan prakondisi dari kemunculannya, dan disisi lain adalah proletar, yaitu kelas yang harus menjual tenaganya kepada para kapitalis sekedar untuk terus bertahan hidup.
 Ketergantungan kelas ini terhadap para kapitalis cukup besar dan hal ini diwujudkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Seorang pekerja tidak berhak atas alat produksi. Ia bergantung pada tenaganya sendiri dalam kehidupan, dalam jaman ini tak seorangpun kecuali para kapitalis yang memiliki alat produksi dapat membeli dan mempergunakan tenga kerja. Konsekuensi dari hal ini adalah para pekerja terpaksa bekerja untuk para kapitalis tersebut. Borjuis bergerak terus dalam perkembangannya yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan ekonomi dari masyarakat kapitalis. Munculnya borjuis sebagai kelas dihubungkan dengan jaman yang disebut akumulasi modal primitif. Indikasi dari jaman ini adalah perampasan tanah dan instrumen kerja milik masyarakat luas, melalui eleman terpentingnya yaitu perampasan barang-barang kolonial dan ekspansionisme.  Disaat semua syarat telah tersedia bagi mulainya sebuah corak produksi kapitalis. Syarat-syarat itu termasuk telah hadirnya masssa pekerja upahan independen dan konsentrasi kapital ditangan borjuasi.
Di Indonesia hal ini berlangsung dengan masuknya kolonialisme Belanda. VOC sebagai serikat dagangnya waktu itu. Bentuk-bentuk pengisapan yang dilakukan VOC waktu itu adalah leveratien dan contingenten. Leverienten adalah sistem penyerahan hasil pertanian oleh para bupati pesisir kepada VOC dalam jumlah yang ditentukan oleh VOC. Contingeten adalah sistem jatah penyerahan hasil pertanian yang dikenakan pada bupati di pesisir Jawa oleh VOC, dengan demikian kaum tani pada masa itu menderita dua macam penindasan, dari raja-raja, dan dari VOC. Hal ini terus berjalan hingga sampai ke masa imperialisme yang telah menimbulkan situasi baru di Indonesia. Kemunculan pabrik-pabrik, perkebunan-perkebunan besar, pelabuhan-pelabuhan, hingga perusahaan swasta membutuhkan tenaga kerja terdidik untuk melaksanakan pekerjaan yang serba modern. Perubahan tanah-tanah pertanian yang kini telah berubah menjadi kawasan tempat berdirinya berbagai fasilitas produksi. Bersamaaan dengan terjadinya hal ini kelas pekerja pun muncul.
Perkembangan borjuasi dikaitkan dengan revolusi industri dan kapitalisme pra monopoli sampai periode monopoli kapitalisme dan revolusi sains dan teknologi. Awal abad ke 20 adalah tahu oligarki finansial timbul kepermukaan. Sebagai akibat munculnya jutawan-jutawan, kebangkrutan banyak pengusaha kecil dan menengah, konsentrasi modal dan produksi, inilah basis ekonomi kapitalisme mulai masuk ketahapannya yang tertinggi yaitu Imperialisme. Dalam Imperialisme, borjuasi cenderung secara terus-menerus mengecil jumlahnya hal ini diakibatkan oleh persaingan bebas yang menjadi hukum dijaman imperialisme ini. Konsekuensi logis dari hal ini adalah meningkatnya jumlah kaum pekerja.
Proses pembentukan kelas pekerja di negara berkembang, yang ekonominya seringkali merupakan kombinasi antara elemen kapitalis, foedal bahkan patriarkal, merupakan proses yang rumit dan pelik. Hampir tidak ada negara didunia ini dimana kapitalisme hadir dalm bentuk aslinya. Biasanya kelas warisan dari sistem sosial ekonomi sebelumnya terus bertahan dan berdampingan dengan kapitalis, khususnya sisa-sisa dari kelas feodal  atau pemilik tanah yang mendominasi terus bertahan di bebrapa negara bahkan dibawah kapitalisme seperti di Indonesia dapat kita jumpai hubungan-hubungan itu dibeberapa daerah misalnya Yogyakarta dan daerah Jawa lainnya.
Pada masyrakat kapitalis, terdapat beberapa strata kecil yang terdiridari pemilik alat produksi kecil strata ini terbentuk dari petani dan borjusi kecil perkotaaan. Namun dalam perkembangan selanjutnya strata ini akan hancur jika relasi-relasi produksi  akan menajam dalam perkembangannya. Seperti yang dapat kita lihat didalam kondisi di Indonesia dimana angka tenaga kerja yang terus meningkat tak pernah tercukupi oleh lapangan pekerjaan yang tersedia. Negara yang merupakan alat dari kelas yang berkuasa- di Indonesia adalah kelas kapitalis dan kaum komprador-telah melegitimasi atas kondisi yang terjadi dan bahkan mengkondisikan hal ini demi kepentingan kelas yang berkuasa.
                                                                                     

Kemiskinan dan Eksklusi Sosial


Urbanisasi Sebagai salah satu implikasi dari pertumbuhan penduduk menjadi, salah satu factor dari kemiskinan. Harapan akan hidup lebih baik yang dibawa dari daerah asalnya ke tempatnya yang baru. Namun di tempatnya yang baru harapanya ternyata tidak juga terpenuhi. Akhirnya ditempat baru ini hanya kemiskinan dan hidup yang tak terjamin dengan penghasilan yang tidak tetap dan dibawah standar guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hidup di daerah perkotaan seperti kota Jakarta ini tentu biaya hidup yang dikeluarkan tidak murah, akhirnya orang hanya bisa berpikir bagaimana caranya bertahan hidup dengan segala macam kebutuhan primer dan sekundernya hari ini. Persoalan kebutuhan makanan, pakaian dan tempat tinggal pun muncul sebgai masalah pertama untuk hidup diperkotaan. Baru-baru penggusuran terhadap perumahan rakyat dilakukan oleh Pemerintahan Daerah Jakarta. Ada baiknya kita mundur terlebih dahulu,beberapa tahun yang lalu World Bank menyodorkan program tata kota yaitu “ city without slumps”, disamping pemotongan subsidi publik seperti BBM, pendidikan,  etc guna mendapatkan pinjaman hutang luar negeri. Program ini segera direspon oleh Pemda Jakarta dengan semangat juang yang tinggi. Akhir tahun 2001 pun dijadwalkan sebagai waktunya pelaksanaan program ini, mulai dari penggarukan becak yang dianggap sebagai biang keladi kemacetan di Jakarta dan kemudian disusul oleh penggusuran perumahan rakyat yang dianggap kumuh. Umumnya masyarakat yang tinggal di kawasan perumahan ini adalah masyarakat yang mempunyai status kemiskinan absolut  menurut Giddens. Program World Bank ini ternyata dipakai oleh Pemda Jakarta guna menghilangkan perkampungan yang menurut mereka dari sanalah segala macam bentuk kriminalitas itu timbul. Kemiskinan yang dialami penduduk kota ini telah mengakibatkan dicabutnya hak mereka untuk bertempat tinggal di kota metropolitan ini oleh negara dimana dalm kondisinya agar mendapat pinjaman diri negara luar, yang padahal belum tentu pinjaman yang mengatasnamakan rakyat itu jatuh ketangan rakyat, karena korupsi sudah sedemikian akutnya di pemerintahan negara ini.
Menurut saya penggusuran yang dilakukan ini merupakan salah satu factor kemiskinan tetap ada di kota Jakarta ini. Dengan dicabutnya hak asasi manusia untuk bertempat tinggal ini, warga kota Jakarta harus bekerja berkali-kali lipat lagi untuk memenuhi kebutuhan primer yang satu ini, padahal kehidupan sehari-hari kebutuhan primer yang lain belum tentu bisa tercukupi oleh penghasilan yang didapatkan.
Namun bisa juga berlaku sebaliknya, bahwa kemiskinan yang diderita orang-orang ini adalah karena ekslusi sosial dari negara dan kelas dalam masyarakat. Seperti yang saya ketahui bahwa penyediaan kebutuhan publik, seperti air minum, listrik, pendidikan, pekerjaan. Oleh negara tidak dilakukan, bahkan pengakuan sebagai penduduk kota ini pun tidak diberikan kepada mereka. Akibat dari hilangnya akses-akses seperti inilah yang juga menyebabkan kenapa kemiskinan masih saja tetap ada bahkan cenderung ke arah pemerataan kemiskinan. 

apa pendapat kalian mengenai stratifikasi sosial? baik atau tidak?

Nyatanya kita diciptakan sebagai manusia yg hidup saling berdampingan, saling membantu dan membutuhkan tanpa strata. karena dari awal kita semua adalah sama di mata Allah SWT. tapi nyatanya stratifikasi sosial sangatlah nyata keberadaannya di dalam kehidupan kita sehari-hari. ada penguasa (kelas menengah ke atas), ada kelas menengah ke bawah, ada si miskin. tentu ini sangat berbenturan dengan nilai-nilai yg di ada dalam kitab suci Al-Qur'an. apabila kawan-kawan memperhatikan kehidupan di dunia, hanya ada satu tempat yg bebas dari statifikasi sosial, yaitu Masjid. di masjid semua sama tanpa srata, imam sujud ma'mum pun sujud. tak peduli sang imam lulusan sd dan presiden sebagai ma'mum, semua tetap sama. tidak ada hal-hal yg mengandung unsur merusak di dalam masjid, karena tidak ada strata, tidak seperti kehidupan di lingkungan masyarakat umumyang penuh dengan kebohongan dan saling menjatuhkan. Jadi, kesimpulannya adalah stratifikasi sosial terkadang terjadi begitu saja tanpa disadari, setiap orang berbeda beda ada yang miskin ada yang berkecukupan, jika semua disamaratakan itu tidak bisa. misalnya dalam penanganan pemerintah, mereka harus membedakan perlakuan terhadap orang miskin dan orang cukup. tapi itu semua dikembalikan kepada diri kita masing2 bagaimana menyikapi stratifikasi itu sendiri









Selasa, 16 November 2010

TUGAS IBD http://www.mozilla.com/en-US/firefox/central/FURKANNY 32410902





 

    









KATA PENGANTAR

            Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas terselesaikannya Tugas Makalah saya mengenai, “Mengapa Warga Di Lereng Gunung Merapi Enggan Untuk Mengunggsi dan Bagaimana Solusinya.” Terima kasih kepada Ibu Raisah Suarni selaku Dosenmata kuliah Ilmu Budaya Dasar Yang Sudah membimbing saya, serta rekan – rekan Mahasiswi/a atas kerjasamanya.
            Sebaga langkah awal, saya menyadari masih banyak yang perlu di benahi. Segala saran, koreksi, kritik akan saya sambut dengan hati yang terbuka. Semoga makalah saya dapat memberikan informasi daan manfaat.















Bekasi, November 2010

Furkanny

DAFTAR ISI

 1 .Kronologis Meltusnya Gunung Merapi                                          1
1.1    Alasan di lereng gunung merapi tak mau mengungsi                3
1.2    Korban akibat letusan gunung merapi                                    4


II. Solusi Bagi Warga di Sekitar Gunung Merapi                              7
            2.1 Pendataan warga dan hewan                                                  8
            2.2 Relokasi Warga dan Rekonstruksi bangunan                           9
III. Kesimpulan                                                                                    14
IV. Sumber                                                                                           15
                            






















            Warga lereng Merapi di daerah Klaten hingga Senin (25/10.2010) siang masih belum mendapat perintah segera mengungsi. Mereka juga terlihat enggan meninggalkan kampung halamannya untuk mengungsi. Alasannya, mereka trauma dengan peristiwa pengungsian tahun 2006 yang sangat merugikan warga.

Musiyem warga Deles, Kemalang, Klaten, Senin siang masih melakukan aktivitas seperti biasa. Dia tetap mencarikan rumput untuk ketiga ekor sapi piaraannya. Sapi itu telah dipiara dan dibesarkannya selama empat tahun terakhir, tepatnya pasca erupsi Merapi tahun 2006.

Saat itu seluruh warga di kampungnya dipaksa mengungsi dari rumah karena ancaman bahaya Merapi. Mereka mengungsi di tenda pengungsian yang disediakan pemerintah di lapangan Desa Dompol, Kemalang, Klaten.

Namun hingga pengungsian berakhir desa Deles memang tidak terkena muntahan lahar, paling parah hanya terkena hujan abu. Kawasan tersebut terlindungi oleh salah satu bukit anak Merapi yang oleh warga biasa disebut Gunung Biyung Bibi. Anak gunung ibarat tameng dari bencana Merapi bagi warga Kemalang secara turun-temurun.

Padahal karena harus mengungsi dan hanya orang yang disediakan tempat pengungsian, akhirnya seluruh ternaknya dijual secara murah. Tanaman di lahan garapan juga terbengkelai karena tak dirawat.

"Belum lagi perlakukan saat di pengungsian. Makannya susah, pulangnya juga tidak diberi modal apapun. Saat itu kami pulang sudah layaknya gelandangan saja. Tidak punya apa-apa. Sampai di rumah juga harus mulai dari awal lagi. Setelah empat tahun, kini kami sudah punya tiga ekor sapi lagi," papar Musiyem.

Karenanya dia terus menghindar saat ditanya apakah dia akan ikut mengungsi jika nantinya Pemkab Klaten memerintahkan pengosongan kawasan hunian yang dianggap berbahaya terkena letusan Merapi. Dari pandangan dan ekspresinya kelihatan sekali dia tidak senang
meninggalkan rumahnya untuk mengungsi.
SEMARANG ( Pos Kota ) -Alasan sebagian warga lereng Merapi tidak bersedia dievakuasi meski status gunung tersebut sudah meningkat menjadi “Awas” karena mereka meyakini belum mendapat perintah mengungsi dari Kiai Petruk, sebagai penguasa gunung Merapi.
Mitos tersebut hingga kini begitu diyakini penduduk lereng Merapi, sehingga mereka memilih bertahan di desanya sebelum mendapat perintah dari Kiai Petruk . sebagai penguasa gunung Merapi.
Mitos tersebut hingga kini begitu diyakini penduduk lereng Merapi, sehingga mereka memilih bertahan di desanya sebelum mendapat perintah dari Kiai Petruk .
Keyakinan penduduk lereng merapi inilah yang menyulut ketegangan dengan petugas evakuasi . Tetapi petugas evakusi berjanji akan memaksa warga untuk segera mengungsi bila kondisi Merapi semakin gawat . Selain menggunakan pendekatan kepada warga, Pemkab Boyolali juga akan mengevakuasi paksa jika warga tetap bersikeras . Saat ini, selain menyiapkan tenda di Lapangan Selo, tim evakuasi juga telah memasang papan petunjuk arah di jalur evakluasi.
Hal tersebut merupakan antisipasi jika Merapi meletus, warga pun bisa cepat tiba di pengungsian. Sekitar tujuh ribu warga di tiga desa di kaki Gunung Merapi, menolak dievakuasi ke pengungsian.
Tiga desa tersebut adalah Desa Jrakah, Desa Telogo Lele, dan Desa Klakah. Sampai saat ini, baru ada sekitar 2.000 warga dari Desa Kemiren dan Kaliurang, kecamatan Srumbung, Magelang, yang telah bersedia meninggalkan rumah mereka yang berjarak sekitar 7 kilometer dari puncak Merapi


 
Gunung Merapi akhirnya meletus Selasa 26 Oktober 2010 pukul 17.02 Waktu Indonesia Barat.
Belasan orang menjadi korban, termasuk redaktur VIVAnews, Yuniawan Nugroho yang kembali naik ke atas gunung demi membujuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan turun. Editor senior ini memang sudah lama mengenal Mbah Maridjan. Jelang letusan Merapi tahun 2006, Wawan juga bersama Mbah Maridjan di rumahnya.
Seperti diinformasikan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Merapi memasuki fase erupsi sejak Selasa sore.
Berikut kronologis letusan Gunung Merapi yang terjadi Selasa sore hingga menjelang malam.
1. Pukul 17.02 mulai terjadi awanpanas selama 9 menit
2. Pukul 17.18 terjadi awanpanas selama 4 menit
3. Pukul 17.23 terjadi awanpanas selama 5 menit
4. Pukul 17.30 terjadi awanpanas selama 2 menit
5. Pukul 17.37 terjadi awanpanas selama 2 menit
6. Pukul 17.42 terjadi awanpanas besar selama 33 menit
7. Pukul 18.00 sampai dengan 18.45 terdengar suara gemuruh dari Pos Pengamatan Merapi di Jrakah dan Selo
8. Pukul 18.10, pukul 18.15, pukul 18.25 terdengan suara dentuman
9. Pukul 18.16 terjadi awanpanas selama 5 menit
10. Pukul 18.21 terjadi awanpanas besar selama 33 menit
11. Dari pos Pengamatan Gunung Merapi Selo terlihat nyala api bersama kolom asap membubung ke atas setinggi 1,5 km dari puncak Gunung Merapi
12. Pukul 18.54 aktivitas awan panas mulai mereda
13. Luncuran awanpanas mengarah kesektor Barat-Barat Daya dan sektor Selatan-Tenggara
Status Gunung Merapi ditingkatkan dari Normal manjadi Waspada pada tanggal 20 September 2010. Pada 21 Oktober 2010 status Merapi menjadi Siaga, dan kemudian Awas, terhitung sejak 25 Oktober 2010.
Ada 25 jenazah korban letusan Merapi di RS Sardjito. Kebanyakan dari Kinahrejo.
VIVAnews -- Gunung Merapi muntah. Pada Selasa 26 Oktober 2010 pukul 17.02 Waktu Indonesia Barat, gunung teraktif di dunia itu meletus -- memuntahkan lahar dan awan panas 'wedus gembel'.

Lereng Merapi bagian Selatan jadi yang paling parah. Dusun Kinahrejo, Cangkringan, Sleman luluh lantak. Itu adalah lokasi tempat tinggal juru kunci Merapi, Mbah Maridjan.

Belasan jenazah ditemukan di Kinahrejo, salah satunya rekan kami, redaktur VIVAnews, Yuniawan Nugroho yang kembali naik ke atas gunung  demi membujuk Mbah Maridjan turun.

Belakangan, jenazah Mbah Maridjan ditemukan, Rabu pagi, 27 Oktober 2010 pukul 05.00 WIB. Dia ditemukan tewas dalam posisi bersujud.
Korban Meninggal Letusan Gunung Merapi 107 Orang

Hingga saat ini ada 25 jenazah korban letusan Merapi di Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Yogyakarta (ANTARA) - Korban meninggal dunia akibat letusan awan panas Gunung Merapi yang dibawa ke Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Jumat (5/11) dini hari hingga Kamis, pukul 07.00 WIB, mencapai 107 orang.
Tim Forensik Rumah Sakit (RS) Sardjito Yogyakarta dibantu tim "Disaster Victim Identification" (DVI) Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta telah berhasil mengidentifikasi sebanyak 54 jenazah dari 107 jenazah yang dibawa ke rumah sakit rujukan di provinsi ini.
RS Sardjito Yogyakarta hingga kini masih merawat 25 korban luka bakar akibat letusan Gunung Merapi pada Jumat (5/10) dini hari yang tersebar di beberapa bangsal rawat inap di rumah sakit.
"Pasien yang dirawat di RS sebagian besar mengalami luka bakar lebih dari 40 persen sehingga membutuhkan perawatan yang lebih intensif," kata Kepala Bagian Hukum dan Humas Rumah Sakit (RS) Sardjito Yogyakarta Trisno Heru Nugroho.
Menurut dia, korban luka bakar tersebut harus menjalani perawatan yang intensif karena sangat rentan dengan infeksi. "Tim medis harus cermat merawat dan mengobat korban luka bakar letusan awan panas Gunung Merapi pada Jumat (5/11) dini hari agar jangan terinfeksi," katanya.
Selain merawat korban luka bakar, RS Sardjito hingga kini masih merawat 78 korban nonluka bakar sehingga total korban luka yang kini menjalani perawatan di rumah sakit ini mencapai 103 orang. Sementara di pos antemortem DVI Polda DIY telah menerima sebanyak 230 laporan orang hilang sejak Jumat (5/11).
Jumlah korban meninggal dunia akibat letusan Gunung Merapi pada Jumat dini hari kemungkinan masih akan terus bertambah karena tim gabungan yang terdiri atas anggota pencarian dan penyelamatan (SAR), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan relawan masih terus melakukan proses evakuasi, terutama di dusun sekitar Kali Gendol.Tim SAR DIY, TNI, dan relawan hingga kini masih menemukan jenazah di dusun-dusun sekitar Kali Gendol yang letaknya tidak jauh dari puncak gunung yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istime Yogyakarta.
Jakarta – Pemerintah masih mendata sapi-sapi yang menjadi korban letusan gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sebuah tim telah dibentuk untuk mengidentifikasi harta berharga masyarakat setempat tersebut.

"Sudah ada tim untuk mengidentifikasi sapi. Mereka sedang melakukan pendataan," kata Menteri Pertanian Suswono di Gedung Agung, Jl Malioboro, Yogyakarta, Minggu (7/11/2010).  Di gedung inilah Presiden SBY untuk sementara berkantor sejak Jumat 5 November lalu.
Suswono belum mendapatkan data pasti jumlah sapi yang diganti pemerintah. Yang jelas sudah ada dana Rp 100 miliar untuk proses pengantian sapi itu.

"Sewaktu radius bencana 10 kilometer sapi yang mati di Sleman ada 296 ekor. Sedangkan yang hidup 3.125 sapi. Tapi untuk saat ini saya belum dapat data lagi," katanya.

Suswono mejelaskan, pemerintah masih membahas bagaimana prosedur penggantian sapi-sapi tersebut. "Kita akan kaji apa sapi itu bagi pemiliknya sebagai mata pencaharian  atau tidak. Tentu itu akan ada pembedaan," katanya.

Sapi ternak sering menjadi alasan susahnya para pengungsi meninggalkan daerah berbahaya di lereng Merapi. Pemerintah akan membeli sapi para pengungsi dengan harga layak dan meminta mereka yang akan membeli sapi pengungsi pun tidak menawar dengan murah.
Ekonomi Terhenti, Warga Lereng Merapi Bingung
Sudah sepekan perekonomian berhenti. Warga yang tidak mengungsi kehilangan pencaharian
Kamis, 11 November 2010, 18:22 WIB
Arfi Bambani Amri, Suryanta Bakti Susila
VIVAnews - Dampak letusan Gunung Merapi tak hanya dirasakan warga yang mengungsi, namun juga mulai berdampak kepada warga masyarakat yang masih bertahan di rumah. Warga mulai kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena ekonomi sudah terhenti sepekan lebih.

Salah seorang relawan di Muntilan, Anton, mengatakan, saat ini yang membutuhkan bantuan makanan justru warga masyarakat sendiri yang mana daerahnya dijadikan sebagai posko pengungsian. Sejak letusan Merapi pekan lalu, kegiatan perekonomian di Muntilan berhenti.

“Pasar tidak buka sehingga yang pedagang tidak berjualan. Buruh-buruh bangunan tidak mendapatkan pekerjaan. Padahal, bagi mereka, hasil upah kerja hari ini adalah untuk biaya hidup esok hari. Kalau sudah tujuh hari tidak bekerja otomatis tidak ada pemasukan,” kata dia, Kamis, 11 November 2010

Warga masyarakat yang sangat membutuhkan bantuan, meliputi dusun Ngasem, Bintaro, Nepen dan dusun lainnya di desa Gunungpring, Kecamatan Muntilan. Ada juga di desa Tersangede, Kecamatan Salam. Masih ada banyak lagi daerah nasibnya seperti itu dan belum mendapatkan bantuan.

“Mereka itu bukan pengungsi tapi warga daerah sendiri yang memang kesulitan mendapatkan kebutuhan makan. Kalau di pengungsian kan dijamin oleh pemerintah. Sedangkan kalau warga ini siapa yang menjamin kebutuhan mereka. Padahal, jelas-jelas mereka butuh makan,” ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan, salah seorang warga Plosogede, Kecamatan Ngluwar, Faisol. Warga di desanya memang mengalami kelangkaan kebutuhan pangan. Sementara selama Gunung Merapi meletus, mereka tidak bisa bekerja sehingga mereka pun tidak mempunyai uang untuk membeli kebutuhan makan.

“Warga masyarakat sini memang terancam kelaparan. Yang pedagang tidak bisa berjualan karena perekonomian berhenti. Sedangkan, warga yang menjadi penambang pasir juga takut mencari pasir karena banjir lahar dingin. Intinya, mereka tidak punya uang,” ujarnya.

Munculnya masalah tersebut mengejutkan Ketua Komisi VIII DPR RI, Abdul Kadir Karding. Ia mengakui sejak kemarin dirinya telah mendengar adanya kabar kelaparan yang mengancam warga masyarakat yang bukan pengungsi. ”Besok kami akan rapat dengan BNPB dan menteri terkait untuk membahas permasalahan baru ini,” kata dia.

Digelarnya rapat besok, kata dia, semoga bisa memecahkan dan mencari jalan keluar permasalahan baru ini. “Kami memang tidak menyangka akan muncul masalah baru seperti ini yang menimpa warga masyarakat.

Salah satu cara mengatasi problem tak ada uang ini diusulkan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Gondo Radityo Gambiro. Politikus Demokrat itu minta pemerintah segera merealisasikan penggantian hewan ternak milik masyarakat yang mati, agar tidak menimbulkan masalah baru. Menurutnya, hewan ternak merupakan harta kekayaan yang sangat berharga bagi masyarakat di sekitar lereng Gunung Merapi.

"Demi memberikan makan pada hewan ternaknya, ada pengungsi yang berani menembus bahaya dengan pulang ke rumahnya," ujar Gondo kepada wartawan di DPR, Kamis 11 November 2010.

Gondo juga minta pemda sekitar membantu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam mendata dan menyalurkan bantuan kepada para pengungsi agar lebih tertib dan transparan. "Dengan pendataan dan penyaluran yang tertib dan transparan maka dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Jangan sampai di kemudian hari berusuran dengan BPK atau KPK," katanya.

Gondo juga berharap pemerintah segera memulihkan perekonomian warga lereng Merapi. Sebab, warga sudah terlalu lama di pengungsian dan kehilangan pekerjaannya. "Antara lain dengan membantu membangkitkan aktivitas ekonomi masyarakat seperti pasar tradisional agar kehidupan masyarakat berangsur-angsur pulih," ujarnya.

Dia menyarankan pemerintah memikirkan alternatif solusi, yakni relokasi perumahan warga di lereng Merapi yang rusak parah. "Utamanya yang dalam radius bahaya," kata dia.
Written by Redaksi Seruu.Com on Thursday, 04 November 2010 21:10   
Menteri Koordinator Kesejahteraan  Rakyat (Menkokesra) Agung Laksono mengatakan, relokasi warga korban bencana letusan Gunung Merapi bukan merupakan solusi yang tepat untuk mengurangi resiko terkena dampak bencana alam. Semestinya yang harus diperhatikan dulu adalah dampak sosial yang diakibatkan jika relokasi benar-benar dilakukan. ”Belum tentu sumber pencaharian di tempat baru dengan lokasi lama akan sesuai. Padahal warga di Lereng Merapi memiliki keahlian dalam pekerjaan tertentu misalnya menambang pasir,” kata Agung Laksono, ketika mengunjungi lokasi pengungsian Desa Dompol, Kemalang, Klaten (Jateng), Kamis (4/11).
Dikatakan Agung, wacana relokasi  warga di Kawasan Rawan Bencana (KRB) terutama di Lereng Gunung Merapi tidak mudah untuk dilakukan. Termasuk di Klaten juga belum menjadi kebijakan mendesak untuk segera dilakukan pemerintah. ”Kalau relokasi dilakukan secara gegabah akan banyak  menimbulkan masalah,” katanya. Agung menganggap, ancaman letusan Merapi terjadi karena adanya siklus aktivitas vulkanik. Sehingga masyarakat sudah terbiasa dengan  fenomena alam tersebut. Untuk merelokasi warga di KRB ke lokasi baru bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah.

”Berbagai aspek harus tetap diperhatikan yaitu budaya, sosial, ekonomi dan geografis. Masyarakat di Lereng Merapi sudah memiliki budaya warisan dari nenek moyang  sejak ratusan tahun yang lalu. Sehingga banyak yang tidak mau meninggalkan kebudayaan yang sudah menjadi warisan leluhur,” ujanya.

Agung Laksana justru meminta agar pemerintah daerah untuk mengupayakan perbaikan KRB. Termasuk mengkaji ulang desa yang dimasukan KRB apakah perlu ditambah atau memang sudah cukup seperti sekarang ini. Karena ancaman erupsi Merapi masih terus terjadi sampai batas waktu yang belum dapat ditentukan.

Kewenangan pemerintah pusat, pihaknya akan lebih mengutamakan upaya perbaikan KRB yang terkena langsung dampak aktivitas vulkanik. Daripada  mengosongkan kawasan tersebut dari hunian warga. Wilayah yang mendapat prioritas rekonstruksi dan rehabilitasi adalah Desa Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Yogyakarta. ”Untuk di daerah KRB yang tidak mengalami kerusakan fisik juga akan didampingi dalam hal pemberdayaan masyarakat. Terutama dalam pengetahuan antisipasi terhadap ancaman gempa bumi dan letusan Merapi,” katanya.

Presiden SBY Dukung Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Letusan Gunung Merapi
Sleman, DIY: Atas nama pribadi dan pemerintah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, termasuk Badan Geologi yang sejak awal telah bekerja dengan berbagai upaya menjaga keamanan dan keselamatan penduduk. Ucapan terima kasih ini disampaikan Presiden SBY usai menerima paparan dan laporan dari Gubenur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Surono dari Badan Geologi dan Vulkanologi, Rabu (3/11) pagi di Posko Utama Penanggulangan Bencana Merapi, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY.

“Sebaiknya apa yang disampaikan oleh Badan Geologi itu dijadikan pedoman oleh semua. Dan manakala pemerintah, saya pantau, juga terus memberikan penjelasan kepada masyarakat, mengatakan daerah ini berbahaya, segera ditinggalkan, menuju tempat yang sudah dipersiapkan. Mestinya juga diikuti dan dipatuhi,” kata Presiden SBY.

Kepala Negara juga memohon kepada semua pihak agar bisa memahami bila ada kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan pengungsian ini. “Semuanya memang darurat. Yang penting ada makanan, ada air bersih, ada pengobatan. Yang sakit diobati, ada aktifitas yang dikontrol. Ya, jadi sabar dulu, diterima dulu, yang penting selamat,” SBY mengingatkan.

Di akhir sambutannya, Presiden merespon mengenai tahap rekonstruksi dan rehabilitasi. ”Saya persilakan kepada pak bupati, pak gubernur, menteri terkait, nanti merundingkan bagaimana rehabilitasi dan rekonstruksi daerah pasca bencana ini. Saya akan mendukung karena yang lebih tahu persoalan adalah daerah sendiri,” ujar SBY.

Presiden SBY berharap, bila relokasi dilakukan, tempatnya akan aman dan bisa dimengerti masyarakat. SBY menyebutkan pentingnya memikirkan berbagai aspek, baik sosial, ekonomi, maupun budaya, agar masyarakat bisa menjalani kehidupan yang baik di tempat yang baru.

Pemerintah Mulai Bahas Relokasi Warga Lereng Merapi 
Jakarta - Pemerintah mulai membahas masalah relokasi warga lereng Gunung Merapi pasca bencana. Bekerja sama dengan dunia kampus, pemerintah akan melakukan perencanaan yang matang dan menyeluruh.

"Dalam konteks rekonstruksi dan rehabilitasi, Presiden sangat terbuka dengan berbagai saran dan pandangan dari dunia kampus seperti UGM untuk penyiapan konsepsi relokasi dan normalisasi kehidupan masyarakat," tutur Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi dan Pembangunan Daerah Velix Wanggai.

Hal itu disampaikan Velix dalam rilis yang diterima Minggu (7/11/2010).

Untuk itu, imbuh Velix, saat ini Kemenakertrans, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kemendagri, Badan Pertanahan Rakyat (BPN), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), Kemenkop & UKM, dan Pemprov Jateng  dan DIY juga telah memulai diskusi awal untuk kebijakan relokasi internal Jateng dan DIY.

"Hal ini juga memerlukan social spatial planning yang matang dan komprehensif," jelas Velix.

Sedangkan untuk penanganan sapi-sapi dan ternak lain milik warga, Velix mengatakan SBY juga terbuka dan fleksibel dalam penanganannya.

"Satu hari berjalan ini, Presiden sangat terbuka dan fleksibel untuk menangani sapi, baik dibeli oleh pemerintah maupun pemerintah menyiapkan atau membeli pakan ternak untuk diberikan kepada para petani-petani sekitar Merapi," paparnya.

Menko Kesra Agung Laksono, lanjut Velix, telah bekerja sama dengan Pemprov DIY dan Jateng untuk memetakan jumlah sapi, baik kepemilikan sapi, daerah penyebaran maupun kondisi umur sapi.

Menko Kesra secara intens telah memastikan berbagai bantuan pusat dikelola dan disalurkan secara tepat, cepat dan terintegrasi. Saat ini bantuan dari lintas kementerian terus berjalan.

Sementara Panglima TNI telah membentuk Brigade Khusus untuk penanganan bencana Merapi, dan telah memobilisasi  satuan-satuan pasukan, baik dari Jakarta, Madiun, Malang, Surabaya, maupun dari
Jateng dan DIY sendiri.

"Saat ini di lapangan, pihak TNI berperan aktif untuk mengevakuasi pengungsi dan memberikan pelayanan pada barak-barak pengungsi," imbuh Velix.

Kapolri juga telah membentuk dan memoblisasi Satuan Tugas (Satgas) Kepolisian untuk pengamanan lalu lintas arus pengungsi, kendaraan evakuasi, pencarian korban maupun pengamanan daerah secara umum.

Semua tugas-tugas itu berada di bawah komandan tunggal Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang telah mengkoordinasikan kerja antar institusi, baik pusat maupun daerah.

"Kepala BNPB sebagai komandan tunggal atas pengendalian bencana Merapi telah melakukan konsolidasi kerja antar institusi-institusi pusat, daerah, TNI, Polri, kampus-kampus seperti UGM, dan kelompok-kelompok relawan. Strategi pengendalian pengungsi diarahkan pada kebijakan kawasan rawan bencana I, II, dan III," jelasnya.
SBY serahkan solusi relokasi Merapi ke gubernur SLEMAN
Pemerintah pusat menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pertimbangan untuk merelokasi warga lereng Gunung Merapi apabila dibutuhkan.

Dalam arahan kepada Pemprov DIY di posko utama di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Rabu, Presiden menyatakan, pemerintah pusat hanya memberikan dukungan, sedangkan Pemprov DIY yang sebenarnya lebih mengetahui persoalan di lapangan.

"Justru saya mempersilakan kepada gubernur, bupati, menteri terkait, untuk merundingkan bagaimana rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana ini. Saya akan mendukung karena yang tahu persoalan adalah daerah sendiri," tutur Presiden.

Pemrov, lanjut Kepala Negara, tentunya lebih tahu tentang aspek sosial dan budaya warga lereng Merapi untuk pertimbangan relokasi.

Apabila nantinya tempat tinggal warga dipindahkan, Presiden berharap diakukan pendekatan dan sosialisasi yang tepat kepada masyarakat.

Selain itu, kata dia, Pemprov juga harus memastikan nantinya warga lereng Merapi itu memiliki tempat itnggal dan mata pencaharian baru sehingga hidup baru mereka bisa layak dan normal.

Untuk membiayai rencana relokasi itu, Presiden mengatakan, pemerintah pusat bisa menyediakan dana dengan gabungan anggaran pusat dan daerah.

Dalam paparan penanganan bencana letusan Merapi kepada Presiden, Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X mengatakan Pemprov melakukan penelitian terhadap lapisan tanah di dusun sekitar lereng Merapi, termasuk di dusun terdekat dengan puncak Merapi, yaitu Kinahrejo.

Pemrov, menurut Sultan, khawatir awan panas yang menyapu desa-desa tersebut telah merusak struktur tanah dan membahayakan kehidupan warga pada masa depan.

Untuk itu, Pemprov DIY saat ini sedang mempertimbangkan relokasi warga lereng Merapi sambil menunggu selesainya hasil penelitian.

"Hal ini perlu penelitian untuk menentukan apakah tetap dimungkinkan mereka tinggal atau harus direlokasi," ujar Sultan.

Apabila Pemrov nantinya memutuskan untuk merelokasi warga yang sebagian besar bermata pencaharian petani dan peternak sapi perah itu, Sultan berjanji akan mengadakan dialog dan pendekatan dengan masyarakat.

Sultan memperkirakan petani dan peternak lereng Merapi menderita kerugian Rp15.000 per hari karena kehilangan mata pencaharian Boyolali Tolak Relokasi Warga Lereng Merapi
Boyolali, CyberNews.
            Seiring menurunnya aktivitas Merapi, sebagian besar pengungsi sudah kembali ke rumah. Pemkab Boyolali pun berharap roda kegiatan ekonomi masyarakat bisa kembali pulih. Hanya saja, masyarakat tetap diminta agar waspada. "Bagaimanapun, mereka kan tinggal di wilayah yang dekat kawasan puncak Merapi, jadi harus senantiasa waspada," ujar Bupati Boyolali, Seno Samodro, Senin (15/11).
Bagaimana dengan rencana pemerintah untuk merelokasi warga di kawasan rawan bencana (KRB) III yang jaraknya kurang dari tujuh kilometer? Bupati dengan tegas menolak rencana tersebut. Dia berkilah, relokasi warga bukanlah solusi yang tepat. Dia mengaku tidak asal menolak saja, namun sudah berdasarkan pengalaman mendalam. Apalagi, Kabupaten Boyolali memiliki sejarah panjang terkait relokasi warga yang tergurus Waduk Kedungombo (WKO).
"Ini menyangkut karakter, mas. Tidak mudah untuk melakukan relokasi. Fakta di WKO bisa dijadikan contoh. Hingga kini masih ribuan warga yang menolak direlokasi meskipun disediakan tempat gratis dan tanah sudah disertifikatkan hak milik."
Namun demikian, bila pemerintah tetap pada pendirian untuk melakukan relokasi, pihaknya akan melaksanakan. "Hanya saja, hasilnya, silakan saja. Kalau diperintah, bisa saja Boyolali merelokasi semua warga di KRB III. Kami siapkan tanah di Kecamatan Juwangi untuk menampung semua warga di sana. Namun, kami tidak menjamin mereka tidak akan kembali lagi ke lereng Merapi. Bayangkan, yang pindah antar pulau lewat transmigrasi saja banyak yang pulang. Saya tidak pesimis, justru saya sampaikan kondisi yang sebenarnya."


KESIMPULAN
            Warga di lereng gunung merapi enggan mengungsi di karnakan mereka khawatir dengan hewan ternak mereka daan mereka juga mengikuti instruksi dari kyai yang mereka percayai. Oleh karena itu, kini pemerintah tsedang mendata hewan ternak yang akan di beli dan sedang memikirkan rekonstruksi atas banguna yang rusak.






















SUMBER
1.      Vivanews.com
2.      Kompas.com
3.      Detik.com
4.      Cybernews